Republika:
Mahasiswa Makassar Tuntut Sulawesi Merdeka
Mardhika
Wisesa Fri, 22 Oct 1999 10:11:49 -0700
Mahasiswa
Makassar Tuntut Sulawesi Merdeka
MAKASSAR
Mahasiswa
Makassar mengaktualisasikan kekecewaan terhadap
pengkhianatan
Golkar dengan turun ke jalan. Bahkan mereka sempat menutup
Bandara
Hassanudin dan sekaligus menuntut dibentuknya negara Sulawesi
Merdeka.
Sekitar
20 ribu mahasiswa gabungan dari Univ Negeri Makassar (UNM/dulu IKIP
Ujungpandang�Red), Univ Muslim Indonesia
(UMI), Univ 45, Univ Muhammadiyah,
dan
IAIN itu mengawali aksinya pada pukul 09.00. Mereka memadati Monumen
Mandala
di pusat kota dan mengadakan upacara pendeklarasian terbentuknya
Negara
Indonesia Timur dengan Makassar sebagai ibu kotanya.
Seusai
shalat Jumat, arak-arakan mahasiswa pun bergerak berkeliling kota.
Tujuannya
untuk mensosialisasikan pembentukan negara tersebut kepada
masyarakat.
Akibatnya, suasana Kota Makassar sempat tegang. Pusat pertokoan
seperti
di bilangan Somba Opu�yang dilalui arakan mahasiswa�pun tutup. Namun,
aksi
turun ke jalan itu berlangsung tertib.
Arakan
mahasiswa pun menuju ke Bandara Hasanuddin, sekitar 20 km dari pusat
kota.
Sekitar 1.000 personel petugas keamanan gabungan�di antaranya Brimob,
PHH,
dan Dalmas -- berusaha menghadang arus mahasiswa. Akibatnya bentrokan
kecil
pun meletup.
Demi
menghindarkan bentrokan lebih parah, Kadit IPP Polda Sulsel Kol Pol
Timbul
Sianturi didampingi Kapolres Maros, Letkol Pol J Kastalani bersama
pengurus
lembaga mahasiswa, bernegosiasi selama sejam. Akhirnya disepakati
mahasiswa
boleh mengibarkan bendera Sulawesi Merdeka di salah satu pojok
bandara.
Bendera bewarna hijau dengan gambar Pulau Sulawesi di tengahnya
berkibar
diiringi tempik-sorak mahasiswa.
Akibat
aksi tersebut, jadwal penerbangan sempat kacau.
Penerbangan Garuda ke
Jakarta
yang dijadwalkan pukul 16.00 misalnya, dipercepat setengah jam,
sehingga
10 calon penumpang ketinggalan pesawat. Begitupun pesawat yang hendak
mendarat
di Bandara Hasanuddin dialihkan ke kota lain.
Kebijakan tersebut,
menurut
petugas OIC Bandara Hasanuddin, ditempuh demi menghindari pembajakan
pesawat
seperti yang dilakukan mahasiswa Univ Hasanuddin dua tahun silam.
Aksi
pendudukan bandara tersebut merupakan muara dari kekesalan mahasiswa atas
terpilihnya
Megawati sebagai Wapres dan juga pengkhianatan anggota Golkar yang
menyebabkan
pertanggungjawaban Habibie ditolak. Begitu Megawati diumumkan
menjadi
Wapres, mahasiswa pada Kamis (19/10) malam menyambutnya dengan
membakar
ban di depan kampus masing-masing.
Ketua
Maperwa UNM, Iswari Al Faridzi, mengungkapkan aksi tersebut dipicu
kekesalan
atas massa pendukung Megawati dengan kelompok mahasiswa seperti
Forkot,
yang melakukan penekanan melalui aksi jalanan saat SU MPR �99. Iswari
menilai
tekanan tersebut mempengaruhi keputusan majelis terutama saat
pemilihan
wapres sehingga menikung dari koridor demokrasi. ��Kalau mereka di
Jakarta
menjual, kami di sini membeli,�� geramnya.
Senada
dengan Iswari, Ketua Senat Mahasiswa Fak Teknik UMI, Muh Haris
menyayangkan
kebijakan yang ditempuh MPR. Menurutnya, MPR hanya memperhatikan
aspirasi
mahasiswa di Jawa. ��Forkot tidak dapat mengatasnamakan mahasiswa
Indonesia,�� tegasnya.
Menyusul
gelombang aksi mahasiswa besar-besaran itu, menurut Iswari, pihaknya
kini
mengadakan konsolidasi dengan lembaga mahasiswa di perguruan tinggi di
berbagai
provinsi di wilayah Indonesia Timur. Antara lain yang telah
dihubungi,
menurutnya, Unhalu, Untad, Unsrat, dan Unpatti, serta Uncen untuk
mendapatkan
respons soal pembentukan negara baru ini. ��Kalau pemerintahan
baru
ini terus mengebiri aspirasi dunia lain di Indonesia, ide ini akan terus
mengkristal.
Sulawesi akan menarik garis lurus dari utara ke selatan,��
tegasnya.
Menanggapi
tuntutan tersebut, guru besar komunikasi dan hukum Univ Hasanuddin
Prof
Dr A Muis menilai alasannya kurang rasional karena dipicu kultus
individu.
Bahkan, menurutnya, tuntutan mahasiswa Makassar itu berbeda dengan
tuntutan
Aceh Merdeka yang dinilai memiliki alasan kuat.
Muis
pun mengkhawatirkan gerakan mahasiswa di Makassar itu, mengikuti teori
domino,
menjalar ke daerah lain. Demi menghindarkan jatuhnya korban, Muis
mengimbau
agar pemerintah melakukan pendekatan persuasif dengan cara
menawarkan
otonomi luas.
Di
sisi lain, ia mengimbau mantan Presiden BJ Habibie bersedia ke Makassar
untuk
menenteramkan mahasiswa. Alasannya, gerakan mahasiswa itu dipicu
kekecewaan
atas tersingkirnya Habibie, sebagai idola politik mereka dari bursa
pemilihan
presiden. ��Jadi bukan Presiden Gus Dur atau Wapres Megawati,��
tegas
Muis.
Sementara
itu, Ketua DPP Partai Golkar Marwah Daud Ibrahim menyatakan
mendukung
ide terbentuknya negara-negara federal seperti Malaysia, Amerika
Serikat,
di Indonesia. Mengutarakan gagasan itu terwujud pada 18 Agustus 2000
sehingga
selaiknya telah disosialisasikan, Marwah menilai dengan bentuk
federal
kekuatan Indonesia tidak hanya terpusat di Jakarta saja, tapi juga
bisa
di daerah-daerah. Jika tak mungkin tiap provinsi, maka negara federal itu
bisa
dibentuk per pulau. Misalnya federal Sulawesi, federal Riau, federal
Aceh,
dan federal Kalimantan.
Marwah
pun menegaskan kuatnya dukungan masyarakat di kawasan timur Indonesia
terhadap
Golkar karena memang ada niatan Golkar untuk memajukan kawasan itu.
Itu
ditunjukkan dengan tekadnya mencalonkan tokoh dari timur BJ Habibie
menjadi
capres. Bahkan, partai politik selain Golkar pun ikut-ikutan mendukung
agar
Habibie kembali menjadi presiden.
��Itu sebabnya dipastikan gagalnya Habibie karena alasan
politis
belaka.�� Hal ini pula, menurutnya,
yang memicu keinginan
masyarakat
di kawasan Indonesia Timur untuk mendirikan
negara
federal yang tetap menjadi satu kesatuan dari negara
Republik
Indonesia.n amb/ban/ant
Sumber : Republika
No comments:
Post a Comment