Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi
yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka
peralatannyapun mirip. Perbedaannya, peralatan fotografi menangkap gambar
tunggal, sedangkan sinematografi menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide
pada fotografi memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi
memanfaatkan rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara
fotografi dengan teknik perangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut
montase (montage).
Sinematografi sangat dekat dengan film dalam pengertian
sebagai media penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan
adalah pias (lembaran kecil) selluloid yakni sejenis bahan plastik tipis yang
dilapisi zat peka cahaya. Benda inilah yang selalu digunakan sebagai media
penyimpan di awal pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah
produk sinematografi.
A. Definisi Sinematografi
Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris
Cinematography yang berasal dari bahasa Latin kinema 'gambar'. Sinematografi
sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik
menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi
rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita).
Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi
yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka
peralatannyapun mirip. Perbedaannya, peralatan fotografi menangkap gambar
tunggal, sedangkan sinematografi menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide
pada fotografi memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi
memanfaatkan rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara
fotografi dengan teknik perangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut
montase (montage).Sinematografi sangat dekat dengan film dalam pengertian
sebagai media penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan
adalah pias (lembaran kecil) selluloid yakni sejenis bahan plastik tipis yang
dilapisi zat peka cahaya. Benda inilah yang selalu digunakan sebagai media
penyimpan di awal pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah
produk sinematografi.
B. Film sebagai Produk Sinematografi
Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film,
secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata
kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan
selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian
secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema
+ tho = phytos (cahaya) + graphie = grahp (tulisan = gambar = citra), jadi
pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak
dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan
kamera.
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda
(termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera
film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan
teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif
terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos
cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama
sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang
(developer).
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan
budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video,
piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya;
Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis
plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering
disebut selluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan
digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi
berikutnya fotografi bergeser padapenggunaan media digital elektronik sebagai
penyimpan gambar.
Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah
mengalami perkembangan yang pesat. Berturut-turut dikenal media penyimpan
selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram,
memori chip). Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya
sinematografi yang memanfaatkan media selluloid sebagai penyimpannya.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang
sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat
diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah
semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan
gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog
maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil akhir karya
sinematografi dapat disimpan Pada media selluloid, analog maupun digital.
Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah
pengertian film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu
pada bentuk karya seniaudio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai
suatu genre (cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar)
sebagai medianya.Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis
plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering
disebut selluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan
digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa.
Pada generasi berikutnya fotografi bergeser padapenggunaan
media digital elektronik sebagai penyimpan gambar. Dalam bidang sinematografi
perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat.
Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita analog, dan yang
terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Bertolak dari pengertian
ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media
selluloid sebagai penyimpannya.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang
sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah filmcerita dapat
diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah
semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan
gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog
maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil akhir karya
sinematografi dapat disimpan Pada media selluloid, analog maupun
digital.Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah pengertian
film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yeng mengacu pada bentuk
karya seniaudio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre
(cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai
medianya.
MANAJEMEN PRODUKSI FILM
Mengacu pada profesi yang pada keseluruhan proses produksi,
berikut beberapa penjelasan tentang proses produksi dalam manajemen produksi
film.
1. Pra produksi dan Development
Pra produksi adalah sebuah tahap persiapan sebelum kegiatan
syuting dimulai. Proses ini sangat menentukan kelancaran kegiatan syuting
nantinya. Oleh karena itu proses ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Ada beberapa pekerjaan pada pra produksi ini, diantaranya yaitu:
a. Pemilihan Style
Pemilihan style film yang akan dibuat harus sesuai dengan
kemampuan skill yang kita miliki. Juga harus disesuaikan dengan budget yang
tersedia. Apabila tidak, maka hasil dari film yang kita buat tidak akan maksimal,
bahkan mungkin gagal total. Adapun beberapa style yang sering kita lihat yaitu
:
1) Full animasi ( mengandalkan skill dibidang animasi )
2) Full Cinematografi ( mengandalkan skill dibidang
sinematografi )
3) Gabungan antara keduanya.
b. Pemilihan Tema dan Ide Cerita
Tema merupakan garis besar visual yang akan kita buat.
Pemilihan tema dilakukan secara brain storming. Misalnya temanya adalah alam,
ghotic, humor, dan lain-lain. Setelah mendapatkan tema, kemudian kita buat
detail dalam bentuk synopsis. Banyak melihat pada referensi adalah hal yang
sangat baik. Bagi sebagian kita, referensi kadang membuat kita ingin membuat
sesuatu diluar jangkauan ketrampilan kita. Hal ini kadang membuat kualitasnya
tanggung atau jelek sama sekali. Pemilihan ide dan referensi ini sesuai dengan
keterampilan kita agar tantangannya tetap ada. Jangan terlalu terjebak dengan
aturan-aturan dalam pembuatan cerita film. Menurut pengalaman, hal ini dapat
membuat sebuah film cerita tidak sama dengan aturan sebuah video lainnya.
Dalam pencarian sebuah ide untuk synopsis, harus
memperhitungkan hal penting ini :
1. Penyesuaian budget
2. Feel
3. Skill
4. Lihat referensi
5. dan peralatan yang ada
Setelah synopsis jadi, selanjutnya dibuatlah script, story
board, director script. Menurut pengalaman story board, meskipun cukup sulit
dibuat namun cukup berguna, hanya saja jangan sampai terjebak dalam proses ini,
karena kadang pembuatannya terlalu memakan waktu dan kurang akurat dengan
kondisi saat syuting.
Director script cukup penting dibuat untuk kemudahan bagi
sutradara pada pelaksanaan syuting. Director script juga sangat membantu dalam
efesiensi waktu dan juga akurasi dalam memvisualisasikan script. Adapun format
lain dalam penyususnan desain pra produksi ini yaitu :
a. Ide dan tema cerita
b. Sinopsis
c. Outline
d. Skenario
e. Analisa scenario :
1. Analisa pesan
2. Analisa karakter
3. Analisa setting
4. Analisa property
5. Analisa wardrobe
f. Breakdown & Sub breakdown
g. Hunting Plan
h. Hunting
i. Hunting report ( pemain, property, wardrobe, lokasi,
transportasi, logistic, akomodasi )
j. Direcror shot
k. Floor plan
l. Storyboard
m. Desain proses & jadwal
n. Desain budget
o. Konsep penyutradaraan, art, kamera, sound, editing
p. Estimasi budget art dan kamera termasuk kedalam desain
budget
q. List property dan wardrobe yang termasuk kedalam hunting
report
r. Crew list
c. Persiapan Produksi
Setelah proses diatas berjalan dan selesai, proses
selanjutnya adalah sebagai berikut :
Pembentukan tim kerja
Pemilihan talent dan
ekstras (dengan audisi)
Penyediaan art
properties, costum dll
Pencarian lokasi dan
perijinan
Penyediaan peralatan
syuting
Proses-proses tersebut diatas sangat penting demi kelancaran
syuting. Apabila salah satu proses terabaikan, maka kegiatan syuting akan
terganggu. Meskipun kita bekerja dengan budget yang rendah namun proses diatas
harus tetap dijalankan. Penghematan biaya biasa dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain dengan meminimalkan jumlah kru ( tetap ada batasan maksimal ). Atau
dengan menggunakan fasilitas gratis.
2. Produksi
Tahapan ini dimana hampir seluruh team work mulai bekerja.
Seorang sutradara, produser atau line produser sangat dituntut kehandalannya
untuk mengatasi kru dalam tiap tahap ini. Beberapa faktor penting yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Manajemen Lapangan
Manajemen lapangan mencakup beberapa hal, yaitu:
• Manajemen lokasi ( perijinan, keamanan, keselamatan )
• Talent koordinasi ( koordinasi kostum, make up dll )
• Manajemen waktu ( koordinasi konsumsi, kecepatan kerja,
penyediaan alat )
• Crew koordinasi ( koordinasi para kru )
Attitude dalm bekerja merupakan hal yang sangat penting.
Kesabaran, pengertian dan kerjasama merupakan attitude yang diperlukan untuk
mencapai sukses. Berdoa sebelum bekerja dan briefing sebelum memulai merupakan
hal yang baik untuk menyatukan semangat, visi dan attitude yang diinginkan.
Jangan pernah kehilangan control emosi pada saat syuting. Apalagi semua bekerja
dengan keterbatasan waktu.
b. Kegiatan Shooting
Tahap ini adalah tahap dimana kepiawaian sutradara, DOP, dan
kru sangat menentukan. Kualitas gambar adalah selalu ingin kita capai. Oleh
karena itu penguasaan kamera dan ligthing sangatlah penting. Untuk mencapai
hasil maksimal dengan alat yang kita gunakan, ada beberapa hal yang harus kita
ketahui.
1. Shooting outdoor
Shooting outdoor biasa menekan budget, namun harus
berhati-hati melakukannya karena sangat bergantung dari keadaan cuaca saat
syuting dilakukan. Beberapa yang harus dipersiapkan saat syuting outdoor adalah
:
cahaya matahari (
hard, soft )
reflector ( silver,
gold )
hujan buatan
camera setting (
irish, speed, white balance, focus)
crowd control (
working with ekstras )
2. Shooting indoor
Shooting indoor lebih cepat terkontrol daripada shooting
outdoor, namun dibutuhkan peralatan yang cukup lengkap. Antara lain :
penggunaan lighting
sederhana
penggunaan filter
make up
pemilihan back ground
monitor
3. Visual efek
Beberapa trik mudah untuk dilakukan untuk membuat video
kelihatan lebih menarik antara lain dengan :
reserve motion
fast motion ( normal
lipsync )
slow motion (normal
lipsync )
crhoma key ( blue
screen )
Beberapa hal lain pada saat produksi yang juga perlu untuk
diperhatikan yaitu :
• makan/ logistik
• sewa peralatan
• film
• transportasi
• akomodasi
• telekomunikasi
• dokumentasi
• medis
3. Pasca Produksi
Tahap ini adalah tahap penyelesaian akhir dari semua
kegiatan shooting yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Kesalahan pada waktu
shooting sebagian mungkin diselesaikan pada tahap ini.
a) Editing
Kerjasama sutradara dan editor adalah diperlukan. Editing
sebuah film membutuhkan rasa, oleh karena itu diperlukan pemahaman emosi yang
akan diedit. Pemahaman tentang software yang digunakan juga sangat membantu
maksimalnya hasil editing. Beberapa yang dilakukan antara lain :
o capturing ( optimalisasi )
o format file
o feel
o colouring
o fades and cuts
o kualitas gambar ( film look )
b) Pemilihan format akhir
Format akhir dari film harus sesuai dengan yang telah
disepakati bersama saat pra produksi.
Beberapa yang menjadi acuan kerja, serta masuk dalam
anggaran kerja pasca produksi adalah :
1. Lab/ ruang editing
2. Editor
3. Mixer
4. Sound, director, enginer
5. Telecine
6. Konsumsi
7. Transportasi
8. Telekomunikasi
9. Mastering
10. poster
4. Bedah Film ( The Making Of )
Adalah pembahasan tentang pembuatan film selama pra hingga
pasca.
PELAKU SINEMATOGRAFI
Berikut beberapa penjelasan tentang profesi sinematografi
yang ada pada proses pembuatan film :
Produser
Adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kelahiran
sebuah film. Seorang sosok produser adalah sosok sentral yang menjalankan
sebuah produksi film. Tidak dengan uang tapi dengan visi. Sebab dengan modal
visilah dia bisa memutuskan apakah cerita itu bisa dikembangkan menjadi film
layer lebar, kemampuan yang harus dimiliki yaitu : mengelola keuangan, mencari
dana, berbicara dengan calon investor, menyatukan sejumlah orang untuk
terjadinya sejumlah film. Para produser adalah orang yang bekerja lebih awal
hingga paling akhir dari produksi film. Artinya seorang produser harus memiliki
kemampuan yang sangat kompleks dari semua bagian yang ada di bawahnya untuk
menjadikan dia mampu mengelola sebuah film.
Manajer Produksi
Kerja manajer produksi bak coordinator harian yang mengatur
kerja dan memaksimalkan potensi yang ada di seluruh departemen yang ada. Dalam
produksi sebuah film. Ialah yang bertanggung jawab dalam operasi produksi mulai
tahap pra produksi sampai produksi usai. Tiap hari ia membuat ceklist mendaftar
apa yang sudah dan yang belum dikerjakan, sambil mengantisipasi masalah yang
mungkin timbul dan menyiapkan alternative pemecahannya.
Sutradara
Profesi inipun kerap kali menjadi cita-cita banyak orang.
Ketajaman visi sangat diperlukan supaya dapat menghidupkan cerita untuk bisa
dinikmati di layar lebar. Dia yang harus mengontrol aspek dramatis dan artistik
selama proses produksi berlangsung. Ia juga harus mengarahkan seluruh kru dan
artis untuk bisa mewujudkan film. Sutradara adalah story teller lewat medium
film jauh lebih penting dari pada kepahaman tentang film sendiri. Kemampuan
memimpin, komunikasi, visi, sikap, dan pemahaman soal hidup sangat juga
diperlukan.
Asisiten sutradara I
Ditahap pra produksi, diperlukan seorang untuk membantu
sutradara untuk menterjemahkan hasil direktor treatment kedalam script
breakdown dan shooting schedule. Orang ini diberi predikat asissten sutradara
I, orang inilah yang mendiskusikan segala keperluan shooting dan manajer
produksi.
Penulis skenario
Penilis skenario harus bisa mengatakan sesuatu dengan jelas.
Memahami maksud dari cerita. Memahami maksud cerita (berperan sama seperti
arsirek untuk membangun cerita ), menulis skenario adalah pekerjaan kolaboratif
yang dilakukan si penulis dengan orang yang punya visi yang sama, dalam hal ini
sutradara dan produser.
Produser pelaksana
Menjadi produser pelaksana diperlukan kemampuan manajerial,
kemampuan mengelola anggaran. Kepemimpin, dan komunikasi. Tugasnya adalah
memotivasi dan visi buat terjadinya film, bekerja selama proses produksi
berlangsung. Tugas utamanya adalah memaksimalkan hasil produksi dalam bentuk
film.
Penata kamera/ fotografi ( DOP )
Menguasai cerita, paham alat, tahu bagaimana menceritakan
sesuatu, bisa menentukan penggambaran cerita itu. Menguasai teknik pencahayaan.
Menguasai kemampuan manajerial maupun membuat jaringan komunikasi serta
mempunyai hubungan yang baik dengan sutradara.
Kameramen
Adalah seorang yang menoprasikan kamera. Seorang kamera
person wajib mengetahui seluk beluk kamera sehingga dapat menuangkan visual
sesuai yang diinginkan sutradara.
Desain produksi
Diperlukan sebagai asissten sutradara menentukan suasana dan
warana yang tampil dalam film. Desain produksi menterjemahkan keinginan kreatif
sutradara dan merancangnya. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang luas, kreatif
dan teknis agar seseorang desian produksi mampu menuangkan keinginan sutradara
menjadi rancangan yang mudah dimengerti tiap kepala departement.
Penata kostum dan penata rias
Bisa ditekuni oleh pria atau wanita. Berhubungan dengan
kamera, jadi harus mendiskusikan kesemuanya dengan penata gambar. Memahami
karakter dari tokoh. Bertugas membantu sutradara menghidupkan karakter, bukan
hanya mendadani pemain. Bekerja secara tim, punya sistem kerja,
kemempuankomunikasi, bekerja keras dan tidak mudah panik.
Lighting
Sesorang yang bertugas menjadi lighting mempunyai peranan
yang cukup besar, karena kualitas gambar dari sebuah shot akan semakin baik
jika cahaya yang digunakan tertata dengan baik.
Penyunting gambar/ editor
Syarat menjadi editor adalah kesabaran. Mempunyai kemampuan
bercerita, musik, rapi dan rajin mencatat. Ini jauh lebih penting dari pada
kemampuan menggunakan komputer. Mampu berkomunikasi dengan sutradara. Keputusan
pada ruang editing didasarkan pada kebutuhan cerita dan pertimbangan kebutuhan
penonton.
Penata suara dan penata musik
Di Indonesia unsur audio belum menjadi prioritas. Padahal
film bukan hanya membutuhkan gambar, itulah mengapa namanya film se3bagai media
audio visual. Profesi inin adalah pekerjaan seni namun membutuhkan kemampuan
engineering. Profesi ini sesuai dengan orang yang gemar pada teknologi. Dalam
mengerjakan film sesuai dengan script. Dalam memasukkan atau menghilangkan
noise bisa menggunakan musik library, bisa juga dengan browsing, dengan syarat
mencantumkan pada credit title.
Talent
Mereka adalah figure yang ada kebutuhan dengan skenario dan
syuting. Kebituhan mereka pada penyelenggara festival adalha mereka bisa
melihat kualitas performa mereka saat di layar serta mampu untuk membandingkan
kualitas mereka dengan film lainnya. Selain itu juga sebagai sarana belajar
mereka untuk mengenal beragam karakter di film. Serta berkesempatan untuk
bertemu dengan para pekerja film lainnya untuk mengembangkan jaringan.
Publisis
Publikasi membutuhkan strategi komunikasi, sementara promosi
lebih pada kegiatan pasang iklan di media sebanyak-banyaknya. Publikasi
memungkinkan calon penonton untuk terinformasi soal film yang akan dia tonton.
Dalam arti dia akan tahu lebih dari sekedar judul film itu apa. Dengan
stratergi publikasi yang baik bisa juga menjadi penyelamat film yang mungkin
jelek.
Penyelenggara festival
Festival lahir karena penonton membutuhkan forum diskusi,
apresiasi, tawaran sudut pandang yang bebeda dan juga tontonan alternatif.
Sebetulnya tawaran inilah yang membuat festival menjadi penting. Menguasai
strategi menguasai penontonnya. Banyak festival tak lain adalah untuk tempat
berinteraksi dan belajar. Banyaknya ajang ini juga sebagai tempat untuk
memperluas jaringan akan pelaku film lainnya.
Beberapa macam pelaku dalam film bukan berarti hanya
beberapa itu saja yang ada. Melainkan bisa sangat beragam dan banyak. Itu
tergantung dari tingkat kebutuhan serta kesulitan pembuatan film tersebut.
materi dikalt dasar kine klub umm #9
Diposkan oleh Sorayadi 06:40Tidak ada komentar:
PERSIAPAN MEMBUAT VIDEO
Bagaimana Persiapan Membuat Video
Sadarkah kita bahwa ketika menonton film, pada dasarnya kita
terkena pengaruh ilusi? Ilusi yang dimaksudkan di sini adalah ilusi
terhadapsalah satu indera kita, yaitu mata. Film sebenarnya merupakan rangkaian
bingkai-bingkai gambar diam. Masing-masing bingkai merekam perubahan yang
terjadi pada subjek.
Setelah diputar dengan kecepatan di atas 20 bingkai per
detik, kita tidak dapat mendetaksi perpindahan antarbingkai tersebut.
Terjadilah ilusi di otak kita.
Nah, di bidang perfilman dan video ada tiga standar
kecepatan putar tiap detiknya (frame per second-fps). Standar tersebut adalah:
Secara prinsip, semakin besar resolusinya, maka semakin
bagus pula kualitas gambarnya, namun semakin besar ukuran file videonya.
Semakin besar kecepatan putar, semakin mulus/halus gerakan dalam film.
Format File Video Digital
Lalu apa itu MPEG? MPEG hanyalah salah satu metode kompresi
untuk memperkecil ukuran file video. Metode MPEG ini menghilangkan informasi
file yang mirip antara bingkai yang berdekatan, jadi hanya memakai salah
satunya. Dengan metode ini, file video jadi relatif kecil, tetapi kualitas
gambar dapat dipertahankan.
Contoh metode kompresi video yang lain adalah Intel Indeo,
Quick Time, dan lainnya. Maka, kita kenal dengan istilah codec ( compressor-
decompressor). Hasil metode kompresi MPEG adalah file berekstensi MPG.
Sementara itu, Mov adalah format video hasil metode kompresi Quick Time. Ada
pula format file video tanpa kompresi yang sering kita dengar, yaitu AVI. Untuk
keperluan streaming video via internet, akhir-akhir ini kita mendengar format
MPEG4 yang semakin populer. Mengapa kualitas film DVD lebih bagus dari VCD? Ya,
terang saja! Kepingan VCD memiliki daya tampung sebesar 700 Mega byte.
Sementara itu, keping cakram DVD berkapasitas 4.7Giga Byte. Baru-baru ini
bahkan muncul DVD dual layer yang berkapasitas 8 Giga Byte. Dengan ruang yang
begitu lapang tersebut, kita tidak perlu mengompresi file video yang akan kita
simpan dalam media rekam.
Film, Video Analog, dan Video Digital
Apa perbedaan antara film, video analog, dan video digital?
Film menggunakan media rekam pita 8 mm dan memerlukan pemrosesan laboratorium
untuk mengubah image laten di pita seluloid tersebut menjadi image yang
sifatnya permanen. Sama dengan pemrosesan film di bidang fotografi analog.
Metode penyajian/presentasinya pun berbeda dengan video. Film memerlukan
ruangan yang gelap total. Sementara itu, video analog menggunakan media rekam
berupa pita
magnetik. Cahaya dan suara diubah oleh sensor (CCD- Charge
Coupling Devices) menjadi gelombang elektromagnetik analog menurut frekuensi
dan amplitudonya. Format data analog ini memang lebih ”kaya nuansa”
dibandingkan dengan data digital. Akan tetapi, karena setiap kali harus
bergesekan dengan head player, maka akan semakin banyak dinodai noise. Begitu
pula, perekaman kembali ke generasi berikutnya selalu disertai dengan penurunan
kualitas.
Format media rekam analog berupa kaset yang sering kita
jumpai antara lain VHS, S-VHS, Beta, serta Hi-8. Lain halnya dengan data video
digital. Di sini hanya dikenal angka 0 dan 1. Mati atau hidup sebagai komponen
data digital. Nuansa data digital memang tidak sekaya format analog, tetapi
tidak akan mengalami penurunan kualitas jika dilakukan perekaman ulang. Namun,
hati-hati.... ”rusak sebagian” pada data digital berarti ”rusak keseluruh
data”. Kerusakan informasi 0 dan1 pada satu bagian data menyebabkan seluruh
data tidak dapat diakses. Kaset umum yang digunakan untuk merekam video digital
saat ini antara lain Digital8 (Sony) dan MiniDV.
Linear dan Non-Linear Video Editing
Penyuntingan video analog sering disebut sebagai linear
video editing. Mengapa? Sebab perubahan yang dilakukan pada satu bagian rekaman
mengharuskan penyusunan ulang dan perekaman ulang secara keseluruhan. Untuk
menciptakan transisi antar-sambungan klip saja diperlukan minimal dua player
video (VTR). Kini dengan sebuah PC dan perangkat lunak komputer kita dapat
menggeser-geser klip, membatalkan langkah penyuntingan, mengulang perintah
dengan leluasa. Asal masih memiliki file project -nya, kita dapat menyusun
ulang atau mengubah rekaman dengan leluasa, tanpa memulai dari awal.
Kebutuhan Hardware PC
Ukuran file video yang begitu besar tentu memerlukan
dukungan perangkat keras (hardware) yang memadai agar proses penyuntingan dapat
berjalan efektif dan efisien. Sebagai gambaran, spesifikasi PC yang kita
perlukan adalah:
Prosesor sekelas Intel Pentium dengan frekuensi 1 Giga Hertz
atau lebih.
RAM minimal 256 mega byte (disarankan 512 mega byte ataulebih).
Kartu grafis (VGA) yang memiliki akselerator grafis dan
mendukung standar Direct X.
Kartu suara (Sound Card) yang mendukung standar Direct X.
Satu hard disk berkapasitas sekitar 80 GB dan kecepatan
putar 7200 rpm sebagaitempat menginstal sistem operasi dan software penyunting
video.
Satu hard disk berkapasitas besar (sekitar 200 GB) untuk
menyimpan hasil-hasil penyuntingan video.
INGAT :
Frekuensi prosesor yang terlalu kecil akan menyebabkan
banyak frame/bingkai yang drop (tidak ter-capture) saat
pemindahan data video dari kamera ke PC. Akibatnya,
gerakan akan terlihat patah-patah dan tersendat-sendat.
Sementara, RAM yang terlalu kecil akan mengakibatkan
proses rendering berjalan sangat lama.
Capture
Saat memindahkan data dari kamera ke PC kita memerlukan
beberapa perlengkapan. Jika kamera kita sudah berformat digital, maka jenis
koneksi adalah menggunakan standar firewire IEE1394 (slot dan kabel firewire).
Sementara jika kamera kita masih menggunakan
sinyal analog, kita masih menggunakan koneksi USB 2.0 dan
tambahan kabel RCA audio serta kabel S-Video. Hardware berupa video capture
card sangat membantu proses pemindahan dan digitalisasi video ini. Jika
motherboard PC kita sudah memiliki slot firewire, maka kita tidak memerlukan
tambahan hardware ini. Namun, sering ditemui bahwa capture dengan bantuan
video capture card berjalan efektif dan efisien jika
dibandingkan capture dengan software penyunting video semata. Apalagi
kebanyakan produsen video capture card saat ini telah mem- bundle software
pengolah video full-version bersama dengan video capture card. Hal yang patut
diperhatikan adalah penentuan parameter capture, antara lain standar video (PAL
atau NTSC), kualitas audio (standar untuk DVD adalah 44,1 Mhz), dan kualitas
gambar (DV full quality , AVI good , AVI better).
Tahap Ekspor/Perekaman Output
Setiap software penyuntingan yang memiliki video pasti
memiliki hasil penyuntingan dalam format standar miliknya,
Misalnya project untuk Adobe Premiere Pro. Jenis file ini
sering disebut file project . Nah, dari file project inilah kita dapat
mengonversi ke format-format yang lain, seperti AVI, MPG1, serta MPG2. File
MPG1 setelah dibakar ke dalam VCD akan menjadi file DAT. File DAT inilah yang
dapat dimainkan di player-player rumahan. Saat hendak merekam ke media rekam
inilah kita harus menyesuaikan ukuran file agar sesuai daya tampung media
rekam, misalnya VCD yang hanya 700 mb. Konsekuensinya, kalau file terlalu besar
dan ingin memasukkan dalam satu keping CD, file harus diturunkan kualitasnya
(dikomperesi). Alternatif kedua, pecah saja project menjadi beberapa bagian dan
direkam dalam beberapa keping CD. Tentu tidak ada kesulitan jika kita
menggunakan DVD atau DVD double layer untuk merekam output penyuntingan. Kita
tidak perlu menurunkan kualitas gambar maupun suaranya.
Perlengkapan Lain
Selain beberapa peralatan tersebut di atas, masih ada
beberapa alat tambahan yang diperlukan untuk proses editing video, yaitu CD
Writer(CD-RW Drive atau DVD-RW Drive), microphone, speaker, dan port TV Out. CD
Writer digunakan untuk pemrosesan video editing yang paling terakhir dalam
bentuk kepingan CD. Microphone biasanya diperlukan untuk memberikan kata-kata
narasi pada beberapa bagian video. Speaker perlu disiapkan karena jika
menggunakan speaker standar komputer, maka kerusakan atau kualitas suara tidak
akan terdengar. Sedangkan port TV out diperlukan jika ingin menghubungkan
komputer ke layar televisi.
Sumber:elexmedia
Diposkan oleh Sorayadi 06:402 komentar:
LIGHTING (DASAR)
3 Dasar Tata Cahaya :
Key light (Cahaya Kunci) : Sumber cahaya Utama
Yaitu dimana cahaya yang harus diposisikan pertama kali.
Sifatnya keras. Biasanya diposisiskan lebih tinggi dari obyek atau talent dan
juga bisa dari samping.
Fill Light (Cahaya Pengisi) :
Cahaya yang digunakan sebagai pengisi bagian yang terlihat
gelap dan juga berfungsi untuk mengurangi bayangan obyek yang terlalu pekat
efek dari key light. Sifatnya lembut.
Back Light (Cahaya Belakang) :
Cahaya yang digunakan sebagai pemisah antara subyek dengan
background. Back light dapat terlihat diteoian subyek yang tersinari, cahayanya
bisa terlihat terang atau jelas dan lebih halus.
Sifat Cahaya
Hard Light
Hard light adalah cahaya yang memiliki sifat keras &
contohnya apa yang kita lihat cahaya matahari saat siang hari. Ini datang
langsung dari satu sumber cahaya. Karena berasal dari satu sumber cahaya maka
cahaya ini menimbulkan banyak bayangan yang pekat.
Soft Light
Soft light adalah cahaya yang memilki sifat halus atau
lembut. Yang biasanya dapat kita lihat di daerah-daerah pertokoan dengan
menggunakan lampu pijar atau TL. Dan sifatnya menyebar dan mengurangi bayangan
subyek.
Cara membuat soft light :
Memberikan filter
didepan cahaya yang keras
Memantulkan dengan bantuan reflektor
Apa yang harus dilakukan seorang lightingman terlebih dahulu
:
• Mengetahui apa yang harus dibawa disaat akan syuting
• Mengenal akan memahami alat-alat serta penggunaannya
• Pahami lokasi syuting
• Koordinasi dengan DOP
ara pegiat film indie dari berbagai kota di Indonesia telah
banyak menunjukkan aktifitas berkaryanya. Tak ada keharusan bagi para pegiat
itu untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi. Sesuai dengan
semangat independen, tak perlu ada ketergantungan pada teori-teori yang telah
mapan. Tetapi dalam berbagai even festival film indie, terbukti karyakarya
mereka sangat mengagumkan di mata para juri yang rata-rata adalah empu-empu
sinematografi Indonesia. Menarik untuk di bahas bagaimana perkembangan film
indie di Indonesia, dan bagaimana para pegiat tersebut belakangan ini telah
menjadi motor penggerak pertumbuhan kembali perfilman nasional.
Dalam buku Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Gotot Prakoso
banyak memberikan gambaran sejarah dan perkembangan film independen di
Indonesia, yang oleh Gotot disebutnya sebagai film pendek. Bagi Gotot, film
pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu
tersebut para pembuatnya semestinya bisa lebih selektif mengungkapkan materi
yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap ‘shot’ akan memiliki makna yang cukup
besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Ketika pembuat film terjebak ingin
mengungkapkan cerita saja, film pendek seperti ini akan menjadi film panjang
yang dipendekkan karena hanya terikat oleh waktu yang pendek. Menurut Gotot,
sejarah pergerakan film pendek Indonesia diisi dengan penggalan-penggalan
peristiwa. Berbagai peristiwa itu menandai suatu usaha yang sekaligus memberi
perlawanan terhadap situasi perkembangan film Indonesia secara utuh. Sayangnya,
secara formal para peneliti sejarah film Indonesia sampai sekarang hanya
tertarik pada film-film mainstream yang beredar di gedung-gedung bioskop
sebagai bagian dari sebuah industri budaya pop. Adapun, pergerakan film pendek
Indonesia dianggap tidak menarik karena dianggap tidak masuk dalam ikatan
industri itu.
Oleh kalangan akademisi dan seniman film Institut Kesenian
Jakarta (IKJ), film independen memang lebih banyak disebut sebagai film pendek.
Seperti diakui Gotot, soal
penamaan istilah ini memang beragam. Ada orang menyebut film
indie, independen, dan juga film pendek. Bahkan kalangan seniman film
Yogyakarta, film semacam ini disebut sebagai film ‘wayang’. Istilah ‘wayang’
ini diadopsi dari pengertian film masa lampau yang menyebutkan bintang film
(artis) sebagai ‘anak wayang’ sehingga jika jenis film ini dianggap sebagai
semacam wacana, Gotot membiarkan peristilahan itu berkembang sebebas-bebasnya.
Jika hanya dipatok dengan istilah indie, nanti bisa jadi orang akan menghubungkannya
dengan film masa lampau Indonesia. Kalau menyebut independen, bisa jadi orang
akan mempertanyakan independen dalam soal apa. Sampai saat ini, Gotot yang
sering menjadi juri film pendek di tingkat nasional ataupun internasional,
masih menggunakan istilah film pendek. Selanjutnya, Gotot menambahkan bahwa
sejarah film pendek Indonesia bergerak sendiri di luar industri film yang ada.
Namun kenyataannya, film-film pendek Indonesia kini telah banyak mendapat
perhatian dan penghargaan dari luar negeri. Banyaknya forum di luar negeri
seperti festival film yang mengundang film-film pendek untuk dipertunjukkan dan
dibahas. Dengan demikian, film pendek tersebut telah menjadi public relations
untuk perfilman Indonesia, menggantikan film-film mainstream Indonesia yang
kurang berbicara di forum internasional.
Melihat kilas balik pergerakan film pendek atau film
independen bisa dimulai dari awalnya, yakni tahun tujuh puluhan ketika
berdirinya Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) dan pendidikan
film pertama di Indonesia. Pada saat itu, mulai popular media film 8 mm yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. DKJ-TIM membuat Lomba Film Mini yang
mengakomodasi munculnya film-film pendek buatan para amatir, para seniman di
luar film, dan mahasiswa termasuk mahasiswa sinematografi Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta (LPKJ, yang kemudian berubah menjadi IKJ). Dari aktivitas
lomba dan gencarnya DKJ-TIM mengadakan pekan film pendek dan alternatif,
memunculkan gerakan pertama oleh anak-anak muda yang menamakan diri “Sinema
Delapan’. Gerakan ini mencoba memunculkan karya-karya film dengan media 8 mm
dengan semangat yang besar untuk menantang tata cara pembuatan film di industri
film Indonesia yang saat itu mengalami booming yang luar biasa (satu tahun rata-rata
berjumlah 125 judul). Sayangnya hanya dengan modal semangat, gerakan ini tidak
bisa bertahan lama. Tidak banyak orang yang terlibat dalam pergerakan, kecuali
hanya segelintir mahasiswa film LPKJ. Gerakan ini usianya tidak lebih dari satu
tahun, walaupun para anggotanya telah memproduksi sejumlah film pendek.
Pada awal tahun delapan puluhan, muncul ‘Forum Film Pendek
(FFP) yang digagas oleh banyak orang, khususnya dengan bergabungnya beberapa
seniman di luar film dan juga dari kalangan industri film serta anak-anak muda,
mahasiswa UI, IKIP, dan IKJ yang juga sudah membuat karya film. Forum ini cukup
bisa menciptakan isu nasional dan banyak melakukan pemutaran film dan apresiasi
film hingga ke Medan, Bali, dan Lombok. Sebagai sebuah gerakan, cukup kokoh dan
sanggup menginventarisasi karya-karya film pendek. FPP juga menformulasikan
film pendek sebagai film alternatif dan independen. Forum ini bergerak aktif di
tahun awal delapan puluhan hingga pertengahan delapan puluhan. Misi FPP adalah
gerakan seni melalui film film dan eksplorasi ke luar negeri. Pada saat inilah
dimulainya film film pendek Indonesia mengikuti berbagai festival di luar
negeri. Pada pertengahan sembilan puluhan, muncul gerakan ‘Sinema Gerilya’,
sebuah istilah yang dilontarkan oleh Seno Gumira Adjidarma, seorang sastrawan
dan pemerhati film yang bereaksi atas surutnya produksi film nasional. Seno
melihat secara ekstrem bahwa produksi film alternatif sudah selayaknya
menggantikan posisi film nasional. Pada saat ini, walaupun produksi film Indonesia
surut, justru ada beberapa film yang dikategorikan sidestream atau film-film
seni banyak berbicara di forum internasional. Oleh karena itu, sudah selayaknya
semangat ‘Sinema Gerilya’ harus dimunculkan(Prakosa,2001:10-13).
Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi
bermakna besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami
berbagai eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat
khas. Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan
Brakhage atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV
dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film
main-stream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses
menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak mewujudkan
nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan mewujudkan dengan
peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan dalam bahasa visual.
Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat stylistic seperti halnya
minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya sangat jelas sebagai lawan
yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari film-filmnya menjadi komentar
dalam medium melebihi interpretasi atas lingkungan atau dunia secara umum. (Prakosa,
2001: 25-26).
Jika diamati, ternyata banyak film independen kita yang
sudah berjaya di luar negeri. Sebut saja, misalnya, film Revolusi Harapan karya
Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The
39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di
Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk
nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).
Dalam Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film
pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468
karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi
Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.
Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di
forum-forum internasional. Selain film-film tersebut, masih banyak lagi film
yang unjuk gigi di luar negeri. Kalau kini orang ramai membicarakan maraknya
film independen, akarnya sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika
fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film
independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat
sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap
bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967),
Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen
Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia
baru (istilah Jiffest) secara menyeluruh.
Selain aspek misi dan penggarapan, film independen juga
biasanya tidak dipatok dengan durasi seperti kebanyakan film mayor. Dalam
beberapa event festival indie, sering film-film yang dikirimkan tidak berdurasi
lama, tetapi masa tayangnya hanya sekitar 10-25 menit. Mengapa demikian? Film
independen tidak melibatkan pemodal yang kuat sehingga untuk memproduksinya
tidak harus menunggu dana cair dari seorang konglomerat atau pengusaha. Bagi
penggiat film indie, jika mereka mempunyai dana untuk membeli kaset, makan/minum
selama produksi hingga editingnya saja, dirasakan sudah cukup. Pemainnya
terkadang tidak dibayar. Alat yang digunakan juga tidak harus menggunakan movie
camera atau kamera Supercam VHS, betacam, atau kamera digital yang kini lagi
ngetren. Terkadang dengan camera handycam pun jadi.
Di negara-negara maju seperti Meksiko, Australia, Amerika,
Jerman, Perancis, Inggris, Iran, dan Jepang, para pembuat film indie semakin
mendapatkan tempat di hati penonton. Sebagai contoh Iran; negara Islam ini
terkenal dengan film-film humanisnya. Meskipun dikemas dalam frame film indie,
mereka mampu membuat film yang enak ditonton dan menyiratkan nilai kemanusiaan.
Tidak jarang film-film mereka mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat dunia
seperti pada ajang bergengsi, Academy Award, beberapa kali film Iran masuk
nominasi.
Beberapa bulan yang lalu, sebuah produk rokok yang mencoba
membuat kegiatan pelatihan film bagi pemula, yakni anak-anak usia SLTP. Usaha
ini merupakan upaya mencari bibit para sineas film di tengah-tengah industri
sinetron yang sering kehilangan akal. Kini banyak sinetron sebagai bentuk lain
dari film mayor yang hanya betul-betul mengejar jam tayang serta masuk dalam
sindikasi sinetron di Indonesia. Mereka yang biasa tayang di prime time justru
kurang memiliki nilai artistik film yang menarik. Terkesan asal jadi dan
muatannya sering keluar dari nalar dan logika kita. Untunglah muncul genre film
televisi yang mampu memboyong sineas lama untuk ikut andil dalam revitalisasi
film nasional. Namun, tetap ada titik jenuhnya sebab film-film televisi semacam
ini juga akhirnya terjebak ke dalam mekanisme ‘kejar tayang’, yang seminggu
sekali harus ke luar film televisi. Sementara itu dalam penggarapannya, lama
kelamaan cenderung asal-asalan dan kurang greget. Selanjutnya, perkembangan
istilah film independen di negara kita sebetulnya untuk pertama kalinya
dipopulerkan oleh Komunitas Film Independen (Konfiden) yang berdiri pada 1999.
Tampaknya, apa yang dilakukan Konfiden mengacu kepada Image Forum, yakni
organisasi film nirlaba yang menitikberatkan pada film eksperimental di Jepang.
Organisasi ini dideklarasikan dengan mengadakan kegiatan Festival Film dan
Video Independen di Indonesia, yang sudah dilakukan dua kali, 1999 dan 2000
yang lalu. Dalam konteks ini, pengertian independen adalah mandiri, tidak
terikat oleh berbagai ikatan. Bahkan, baik pendanaan, pembuat keputusan,
pencarian ide maupun sistem peredarannya diusahakan mandiri. Hal yang hingga
kini masih perlu diapresiasikan kepada masyarakat luas. Mungkin saja meminjam
keberhasilan anak-anak muda yang membuat film secara independen seperti Mira
Lesmana, Rudi Soedjarwo, Hary ‘Dagoe’ Suharyadi, Nanang Istiabudhi, dll.
Menjadi triger untuk memacu tumbuhnya budaya penciptaan film dengan spirit
mandiri. Sebetulnya sistem mandiri ini sudah pernah dirintis oleh Umar Ismail
pada tahun lima puluhan. Seterusnya, setiap generasi memiliki pemberontakan
terhadap suatu kekuasaan yang dianggap telah stagnan atau bahkan menjadi mapan.
Oleh karena itu, demi perkembangan dunia sinema itu sendiri, semangat pemberontakan
itu sangat diperlukan. Sebagaimana dicatat oleh sejarah film dunia, mereka yang
tadinya memberontak itu kemudian menjadi penguasa lingkungannya seperti
kelompok The Movie Brats, yang suatu saat menjadi penguasa Hollywood. Bahkan,
pengaruhnya sangat kuat pada industrifilmdi Amerika.
Kelahiran lembaga seperti yang dikelola, diantaranya, oleh
Lulu Ratna, Dwi Aryo, Dono, dan Haikal patutlah didukung. Karena toh maksudnya
mulia, yakni melakukan apresiasi film terhadap masyarakat dengan kontinyu,
melakukan berbagai workshop, melaksanakan
festival film untuk mengumpulkan film, dan video yang
tercecer, tetapi sekaligus akan mencatatkan seberapa banyak film yang mandiri
itu telah diproduksi di negara kita (Prakosa,2001:113-114).
Selanjutnya, di beberapa kota muncul juga lembaga nirlaba
sejenis yang sama-sama menggunakan ‘independen’, seperti Bandung Independent
Film d a n Komunitas Film Yogyakarta. Juga semakin bergairahnya Kine Klub di
kampus-kampus. Momen yang pernah diselenggarakan SCTV dengan Festival Film
Independen Indonesia (FFII) 2002 nyata sekali merupakan stimulus bergairahnya
para penggiat film independen. Kini SCTV kembali akan menggelar FFI 2003 yang
kedua kalinya dengan dua kategori, amatir dan profesional. Tidak hanya kalangan
mahasiswa, tetapi juga pelajar dan umum yang melihat momen sekarang ini tepat
untuk mengekspresikan impuls kesenian filmnya.
Dengan memahami uraian di atas, tidak ada lagi pemahaman
bahwa membuat film adalah monopoli para pemilik modal. Fenomena film indie
seharusnya menjadi penyemangat para pemula untuk menggeluti pembuatan film.
Jika karyanya menarik, tentunya lembaga semacam Konfiden bisa membantu untuk
mengirimkannya ke forum-forum internasional. Secara korespondensi,
sineas-sineas muda bisa berhubungan dengan organisasi sejenis yang ada di
berbagai belahan dunia lainnya sebab pembuat film independen memang tidak
sendiri. Hampir di seluruh dunia, orang mempunyai hak yang sama atas film
independen, karena begitu independenya film independen ini.
sumber : dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment