Friday, 21 December 2012

Pramoedya ananta toer


Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. 


Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.


Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.


Karyanya
Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dahulu, menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah. (Nama Saya Tidak Pernah Kotor. Jawa Pos, 18 April 1999)

Saya tutup buku dengan kekuasaan. Mereka selalu bilang, kami tutup buku dengan napol/tapol, nah saya juga bilang begitu, tutup buku dengan kekuasaan. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)
Saya ini kagum kepada Bung Karno. Ia sanggup melahirkan nation, bukan bangsa, tanpa meneteskan darah. Mungkin dia satu-satunya, atau paling tidak satu di antara yang sangat sedikit. Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, mandi darah. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)


Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan. (Rasialisme Anti-Tiong Hoa dan Percobaan Menjawabnya: 22 Oktober 1998)
Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. (Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher: Jakarta, 5 Maret 1985).


Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia. (Saya tidak Pernah Jadi Budak”: Tempo NO. 04/XXVIII/30 Mar - 5 April 1999).



"Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. (Mama, 4)
"Nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap. (Mama, 20)
"Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru? (Panji Darman/Jan Dapperste, 33)


"Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. (Jean Marais, 55)


"Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran? (Jean Marais, 59)


"Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya. (Mama, 77)


"Benih yang tidak sempurna akan punah sebelum berbuah. (Mama, 79)
"Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis. (Mama, 83)


"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)
"Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu-pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. (Khouw Ah Soe, 90)


"Pernah kudengar orang kampung bilang: sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya. (Robert Suurhorf, 98)


"Inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal. (Miriam de La Croix, 107)
"Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan. (Minke, 114)


"Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. (Kommer, 119)
"Kartini pernah mengatakan : mengarang adalah bekerja untuk keabadian. (Kommer, 121)
"Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. (Kommer, 199)
"Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan. (Kommer, 199)


"Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia. (Kommer, 204)
"Revolusi Perancis, mendudukkan harga manusia pada tempatnya yang tepat. Dengan hanya memandang manusia pada satu sisi, sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain. Dari sisi penderitaan saja, yang datang pada kita hanya dendam, dendam semata...(Kommer, 204)


"Orang rakus harta benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi yang hanya dalam cerita tertulis. (Mama, 382)
"semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir. (Kommer, 390)
"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana. (Kommer, 390)


 "...dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya. (Minke, 2)
"Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (Von Kollewijn, 32)
"Persahabatan lebih kuat dari pada panasnya permusuhan. (Bunda/Minke, 46)


"Dahulu, nenek moyangmu selalu mengajarkan, tidak ada yang lebih sederhana daripada hidup: lahir, makan-minum, tumbuh, beranak-pinak dan berbuat kebajikan. (Bunda, 65)
"Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. (Minke, 82)
"Orang Belanda sering membisikkan: berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. Berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti. (Minke, 113)


"Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri. (Minke, 113)
"Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? (Minke, 163)
"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (Minke, 202)


"Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan. (203, Minke)
"Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai setengah pekerjaan sudah selesai, kata pepatah. (Van Heutsz, 264)


"...bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. (Raden Tomo, 277)


"Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya. (Frischboten, 291)


"Tetapi manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang diantara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia. (Minke, 339)
"Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang digurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samudera takkan menggunakan onta. (Minke, 394)
"Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan. (Minke, 430)


"Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian. (Minke, 442)


Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya. (Pangemanann, 38)
"Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Humaniora memang indah bila diucapkan para mahaguru—indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiswa-mahasiswa bebal. Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya. (Pangemanann, 39)


"Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya. (Pangemanann, 46)
"Orang begitu tabah menghadapi kehilangan kebebasannya, akan tabah juga kehilangan segala-galanya yang masih tersisa. (Pangemanann, 53)


"Seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang manusia setengik-tengiknya. (Pangemanann, 73)
"...soalnya memang kertas-kertas yang lebih bisa dipercaya. Lebih bisa dipercaya daripada mulut penulisnya sendiri. (Tuan L, 92)
"Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian. (Pangemanann, 138)
"...dan apalah artinya kebahagiaan kalau bukan rangkaian kesenangan detik demi detik tanpa nurani berjingkrak-jingkrak menggugat. (Pangemanann, 141)


"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Minke, 352)
"Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. (Pangemanann, 409)
"Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. (Minke, 420)


"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia. (Minke, 436)


"Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali. (Pangemanann, 443)


"Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut. (Pangemanann, 443)
"Gairah kerja adalah pertanda daya hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut. (Pangemanann, 460)


PROFIL SINGKATYA


Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.


Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.


 “Dahulu dia selalu katakan apa yang dia pikirkan, tangiskan, apa yang ditanggungkan, teriakan ria kesukaan di dalam hati remaja. Kini dia harus diam- tak ada kuping sudi suaranya.”
― Pramoedya Ananta Toer
Mulai menulis sejak jaman Jepang, novelnya yang pertama, Kranji dan Bekasi Jatuh, terbit tahun 1947. Kemudian ia dimasukkan penjara oleh Pemerintah Belanda karena membawa surat-surat yang dianggap berbahaya oleh tentara Belanda. Sebelum itu, Pram memang aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan aktif juga dalam bidang pers. Sebenarnya Pram kala itu sudah banyak menulis karya sastra namun banyak yang hilang naskahnya. Romannya yang berjudul Perburuan (1950), mendapat hadiah dalam sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Cerita dari Blora, mendapat hadiah sastra Nasional BMKN tahun 1952.


 Karya-karya Pram kebanyakan berupa novel, yakni Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Di Tepi Kali Bekasi (1950), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (2 jilid, 1951-1952), Bukan Pasar Malam (1951), Korupsi (1954), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Gulat di Jakarta (1953), Percikan Revolusi (1950), Cerita dari Blora (1952), Cerita dari Jakarta (1957).
Berbagai buku tentangnya telah ditulis, namun tak satupun menyentuh kehidupan pribadinya. Kehidupan pribadinya tenggelam dalam kebesaran namanya. Kini beberapa bulan setelah wafatanya, barulah muncul sebuah buku yang mencoba menghadirkan sosok Pram yang apa adanya dari kacamata Koesalah Soebagyo Toer selaku adik kandungnya yang memiliki hubungan yang paling dekat dengannya.
Buku yang ditulis oleh Koesalah ST ini merupakan catatan pribadinya mengenai persinggungannya dengan Pramoedya yang ia tulis dari tahun 1981 hingga 20 April 2006, sepuluh hari sebelum wafatnya Pram. Karena merupakan catatan pribadi, setiap catatannya bersifat personal, ada yang pendek (1/2 halaman) hingga yang panjang (5-6 halaman).


Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
 Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.


Sumber : id.wiqiuote.org dan berbagai sumber


No comments:

Post a Comment